Umat Islam diingatkan untuk menjaga adab saat pelaksanaan salat Jumat, salah satunya tidak berbicara ketika khatib sedang menyampaikan khutbah. Larangan ini bukan sekadar aturan ibadah, tetapi juga memiliki alasan logis yang dapat dipahami secara rasional.
Secara spiritual, khutbah Jumat dipandang sebagai bagian dari ibadah itu sendiri. Rasulullah SAW menegaskan, siapa pun yang berbicara meski hanya menegur orang lain agar diam, maka ia dianggap telah berbuat sia-sia. Artinya, pahala salat Jumat berkurang, bahkan dikhawatirkan tidak mendapatkan keutamaan dari ibadah berjamaah tersebut.
Dari sisi logika, berbicara di tengah khutbah akan mengganggu konsentrasi jamaah lain. Suara kecil sekalipun bisa mengalihkan fokus, sehingga pesan khutbah yang seharusnya tersampaikan kepada seluruh jamaah justru terputus. Situasi ini juga berpotensi menimbulkan kegaduhan atau percakapan berulang, yang merusak kekhusyukan ibadah.
Selain itu, khutbah Jumat berfungsi sebagai sarana dakwah massal. Jika jamaah tidak menyimak dengan khusyuk, maka tujuan khutbah sebagai pengingat moral dan spiritual tidak akan tercapai secara maksimal. Diam dan mendengarkan dengan penuh perhatian dinilai sebagai bentuk penghormatan terhadap kesakralan ibadah Jumat.
Ulama juga menegaskan, menjaga adab khutbah turut menjamin kesetaraan jamaah dalam memperoleh pesan keagamaan. Semua orang berhak menerima isi khutbah dengan kondisi yang sama, tanpa gangguan dari sesama jamaah. Dengan demikian, larangan berbicara saat khutbah bukan hanya bernilai ibadah, tetapi juga memiliki fungsi sosial untuk menjaga ketertiban dan efektivitas penyampaian dakwah.
Meski demikian, larangan ini memiliki pengecualian dalam kondisi darurat. Misalnya, saat harus menolong jamaah yang sakit atau menghadapi keadaan mendesak lainnya. Dalam situasi semacam itu, berbicara atau bergerak tetap diperbolehkan demi keselamatan jiwa.
Dengan memahami alasan spiritual dan logis di balik larangan berbicara saat khutbah, umat Islam diharapkan dapat lebih disiplin dalam menjaga adab salat Jumat. Sikap diam, fokus, dan penuh perhatian bukan hanya mencerminkan ketaatan, tetapi juga menjadi wujud penghormatan terhadap ibadah yang disebut sebagai “sayyidul ayyam” atau pemimpin hari.