Oleh: Abi Jumaedi
Tak perlu pembuktian TPA Cipeucang di Tangerang Selatan (Tangsel) kian hari semakin sesak, sementara rencana kerja sama pembuangan sampah ke Pandeglang batal karena penolakan warga. Semua ini menegaskan satu hal ‘jalan pintas’ dalam mengatasi sampah tidak lagi relevan. Asa untuk mengelola sampah dengan baik sebenarnya ada di rumah sendiri dari rumah tangga, lingkungan RT/RW, hingga partisipasi aktif masyarakat dalam program bank sampah dan TPS3R. Tangsel kini berada di persimpangan pilihan antara terus menunda masalah atau berani membangun sistem persampahan yang berkelanjutan.
Tangsel adalah kota penyangga ibu kota dengan pertumbuhan penduduk yang pesat. Namun di balik geliat ekonominya, kota ini menyimpan bom waktu lingkungan “krisis sampah”. Gunungan sampah yang menumpuk di TPA Cipeucang tidak hanya menimbulkan bau tak sedap, tetapi juga ancaman kesehatan, pencemaran air tanah, dan potensi longsor.
Data yang dihimpun menunjukkan bahwa Tangsel menghasilkan rata-rata 1.029 ton sampah per hari. Sementara itu, TPA Cipeucang hanya mampu menerima maksimal 427 ton per hari, sehingga hampir separuh sampah harian kota ini tidak tertangani secara memadai. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa tanpa pengelolaan yang lebih strategis, masalah sampah akan terus menumpuk dan membebani masyarakat.
MoU Tangsel-Pandeglang: Jalan Pintas yang Buntu
Keterbatasan TPA membuat Pemkot Tangsel sempat menggagas kerja sama dengan Kabupaten Pandeglang melalui MoU untuk menyalurkan sebagian sampah ke wilayah tersebut. Namun, kesepakatan ini batal setelah warga Pandeglang menolak. Penolakan ini wajar, bayangkan siapa yang rela wilayahnya menjadi tempat buangan sampah kota lain, sementara fasilitas pengelolaan lokal mereka sendiri juga terbatas?
Gagalnya MoU menjadi alarm keras: solusi instan dan mencari “halaman belakang” untuk membuang sampah tidak hanya tidak adil, tetapi juga rawan memicu konflik sosial. Krisis sampah tidak bisa lagi dipandang sebagai masalah teknis semata. Ini juga soal keadilan, partisipasi publik, dan tanggung jawab sosial.
Solusi Ada di Rumah Sendiri
Tangsel sesungguhnya telah memiliki sejumlah instrumen untuk menangani sampah secara berkelanjutan. Program bank sampah memungkinkan warga menabung sampah anorganik untuk kemudian ditukar dengan uang atau kebutuhan pokok, menciptakan ekosistem ekonomi sirkular. TPS3R (Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle) mampu memangkas 20–30 persen volume sampah yang masuk ke TPA.
Selain itu, pembangunan Intermediate Treatment Facility (ITF) dan Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) tengah diproyeksikan untuk mengolah 1.000–1.100 ton sampah per hari, hampir sebanding dengan produksi harian kota, dan menghasilkan sekitar 15,7 megawatt listrik. Dengan kapasitas sebesar ini, PSEL dapat menjadi solusi teknis jangka panjang, asalkan disertai pemilahan dari sumber, partisipasi warga, dan pengawasan transparan. Ditambah arahan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehitanan (KLHK) untuk menerapkan metode Material Recovery Facility (MRF) usai MoU dengan Pandeglang batal.
Namun, teknologi saja tidak cukup. Tanpa perubahan perilaku warga, pengelolaan modern akan tetap kewalahan menghadapi sampah yang bercampur organik dan anorganik. 70 persen masalah sampah dapat diatasi jika warga aktif melakukan pemilahan sejak rumah tangga.
Mengubah Mindset Kota
Kunci keberhasilan pengelolaan sampah adalah perubahan mindset. Sampah bukan hanya urusan petugas kebersihan, melainkan tanggung jawab kolektif seluruh masyarakat yang harus secara moral disepakati.
Beberapa upaya langkah strategis yang dapat ditempuh Tangsel untuk menjadi tanggung jawab kolektif diantaranya: Larangan plastik sekali pakai yang ditegakkan secara konsisten, insentif ekonomi bagi warga yang aktif memilah sampah, misalnya potongan retribusi, kolaborasi dengan UMKM daur ulang agar bank sampah memiliki pasar stabil, pendidikan lingkungan di sekolah, membangun budaya baru sejak dini, dan keterlibatan sektor swasta agar produsen ikut bertanggung jawab atas limbah produk mereka.
Asa di Tengah Tantangan
Penolakan warga Pandeglang bukan aib, melainkan cermin penting bagi Tangsel: solusi ada di rumah sendiri. Tidak ada lagi jalan pintas. Sampah harus dikelola dari sumbernya, dengan kesadaran warga, dukungan teknologi, dan kebijakan yang konsisten.
Sampah adalah cermin peradaban kota. Kota yang gagal mengelola sampahnya, sesungguhnya gagal membangun peradaban yang sehat dan berkelanjutan. Asa untuk Tangsel ada di tangan masyarakat dan pemerintahnya: dari rumah tangga ke lingkungan, dari bank sampah ke TPS3R, dari teknologi ke inovasi berkelanjutan.
Tangsel harus berani berubah. Jalan pintas telah terbukti buntu, tetapi asa untuk mengelola sampah dengan bijak masih bisa diwujudkan mulai dari rumah sendiri.