BANTEN, – Bertepatan dengan usia Provinsi Banten yang ke-25 tahun, potret kehidupan beberapa kabupaten di Provinsi Banten masih banyak warga miskin yang tinggal digubug reyot, seperti kisah pasangan suami istri lanjut usia Saniti bersama Juned asal Kampung Pasir Ipis, Desa Kaduagung Barat, Kecamatan Cibadak, Kabupaten Lebak. Selama dua dekade, keluarga renta ini bersama dua anaknya harus bertahan hidup di rumah reyot yang nyaris ambruk dan serba kekurangan.

Saat ditemui media di kediamannya, bangunan sederhana itu tampak lebih mirip gubuk rapuh ketimbang rumah layak huni lainnya. Atap bocor di berbagai sudut, dinding lapuk dimakan usia, dan tiang penyangga keropos hanya ditopang kayu seadanya agar tidak roboh. Setiap hari, keluarga ini hidup dalam kecemasan, khawatir tertimpa reruntuhan.

BACA JUGA :  Banjir Jadi Langganan di Pondok Maharta, Warga Minta Pemerintah Beli Komplek dan Dijadikan Waduk Saja

“Kalau hujan atau angin kencang, kami harus mengungsi ke rumah tetangga atau rumah RT. Takut ketimpa reruntuhan, Pak,” ungkap Saniti dengan suara bergetar menahan tangis kepada media, Sabtu (04/10/2025).

Bagi Saniti, hidup di rumah tak layak huni itu bukan hanya menimbulkan rasa takut, tetapi juga menyisakan luka batin.

“Sedih, Pak. Sedih sekali. Rasanya hati hancur, tapi mau bagaimana lagi,” ucapnya sambil menyeka air mata.

Derita mereka kian berat karena sang suami, Juned, sudah lama tidak bekerja akibat sakit dan usia yang menua. Sementara Saniti hanya sesekali bekerja sebagai buruh tani dengan upah minim. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pun mereka sering kesulitan.

“Saya cuma kuli ke sawah, nandur, ngoyos, ngegebot punya orang. Kalau suami sudah enggak kerja apa-apa, sedih, Pak,” ujarnya penuh haru.

BACA JUGA :  BRI Pandeglang Rayakan Harpelnas, Berikan Merchandise Gratis

Lebih menyedihkan lagi, meski sudah berkali-kali mengajukan bantuan perbaikan rumah ke pemerintah, hingga kini harapan itu belum juga terwujud. Saniti bahkan mengaku sempat dimintai uang saat mengurus berkas permohonan.

“Cuma difoto-foto doang, Pak. Pernah dimintai Rp 50 ribu, pernah juga Rp 30 ribu buat persyaratan. Padahal kami tidak punya uang,” katanya.

Satu-satunya bantuan yang pernah diterima keluarga ini hanyalah Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) senilai Rp 400 ribu setiap tiga bulan. Jumlah tersebut jelas jauh dari cukup untuk menopang hidup mereka. “Saya hanya berharap bisa hidup tenang sampai ajal menjemput, tidak lagi ketakutan kalau rumah ini roboh,” tutur Saniti dengan mata berkaca-kaca.

Kondisi memprihatinkan ini juga dirasakan para tetangga. Salah satunya Erawati (27), yang sering melihat keluarga Saniti mengungsi saat hujan deras.

BACA JUGA :  4 Bayi di Kabupaten Tangerang Terpapar HIV

“Kasihan sekali, rumahnya seperti mau roboh. Kalau hujan, mereka pasti ngungsi, kadang ke rumah saya, kadang ke tetangga lain. Kami bantu sebisa mungkin, tapi kami juga terbatas,” ujarnya.

Erawati berharap pemerintah maupun pihak dermawan segera turun tangan.

“Kalau dibiarkan, rumah itu bisa ambruk kapan saja. Kami semua takut terjadi hal yang tidak diinginkan,” pungkasnya.

IMG-20251002-WA0094-300x225 25 Tahun Banten Berdiri, Inilah Potret Kehidupan Banyak Rumah Tak Layak Huni di Lebak dan Pandeglang
Ini rumah RTLH di Mandalawangi Pandeglang

Kisah Saniti dan Juned menjadi potret nyata kemiskinan yang masih membelit di Provinsi Banten. Dua puluh tahun menunggu, permohonan bantuan rumah layak huni tak kunjung direalisasikan. Kini, pasangan renta itu hanya bisa berharap ada uluran tangan dari pemerintah atau masyarakat sebelum gubuk rapuh itu benar-benar merenggut nyawa mereka. (Red)