oleh : Abi Jumaedi

Pemecatan Wahyudin Moridu dari keanggotaan DPRD Provinsi Gorontalo sekaligus dari PDI Perjuangan menjadi pukulan telak bagi dunia politik daerah. Video dirinya yang viral saat menyebut akan “merampok uang negara” bukan sekadar sensasi, melainkan gambaran nyata bagaimana kehormatan legislatif bisa retak oleh perilaku menyimpang seorang wakil rakyat.

Pernyataan Wahyudin yang direkam bersama seorang perempuan dalam perjalanan menuju Makassar menunjukkan betapa rapuhnya integritas politik bila tidak dibentengi etika. Ketika seorang legislator dengan ringan hati melontarkan kalimat yang merendahkan martabat rakyat, maka yang tercoreng bukan hanya nama pribadi, tetapi juga lembaga yang ia wakili.

DPP PDI Perjuangan telah bertindak cepat dengan memecat dan memproses pergantian antarwaktu (PAW) terhadap Wahyudin. Langkah ini penting, karena partai politik memiliki tanggung jawab moral menjaga marwah organisasi. Namun, di balik ketegasan itu, terselip pertanyaan mendasar: seberapa kuat mekanisme kaderisasi dan pengawasan internal partai serta legislatif dalam mencegah perilaku serupa?

BACA JUGA :  Maka Bergizi, Gratis Boleh tapi Higienis

Permintaan maaf Wahyudin tidak serta-merta menghapus luka publik. Apalagi, pengakuan bahwa dirinya dalam kondisi mabuk dan terjerat hubungan gelap hanya menambah buruk citra wakil rakyat. Wibawa legislatif yang seharusnya menjadi benteng aspirasi masyarakat, justru runtuh karena kelalaian moral seorang anggota dewan.

Kasus ini menjadi cermin yang memantulkan wajah retak kehormatan legislatif, bukan hanya di Gorontalo, tetapi juga di daerah lain, termasuk Banten. DPRD di wilayah Banten kerap menjadi sorotan publik—mulai dari polemik internal hingga rendahnya tingkat kehadiran anggota pada sidang penting. Jika peringatan dari kasus Wahyudin tidak dihiraukan, bukan mustahil kepercayaan publik terhadap parlemen daerah akan semakin terkikis.

Legislatif bukanlah panggung untuk bergaya atau mencari sensasi, melainkan ruang suci untuk memperjuangkan kepentingan rakyat. Sekali wakil rakyat terjerumus dalam perilaku yang tidak etis, kepercayaan masyarakat bisa runtuh seketika. Dan ketika kepercayaan itu hilang, maka kehormatan lembaga pun ikut pudar.

BACA JUGA :  STAI Babunnajah Pandeglang Raih Predikat “Baik Sekali” dari BAN-PT Asesmen Prodi HKI

Skandal Wahyudin Moridu harus menjadi titik balik. Kehormatan legislatif hanya bisa dipulihkan dengan kedisiplinan, integritas, dan kesadaran bahwa jabatan publik adalah amanah, bukan alat untuk berpesta. Jika tidak, cermin yang sudah retak akan sulit diperbaiki, dan yang tersisa hanyalah refleksi buram wajah politik kita.